SINKRETISME SEBAGAI CIRI KHAS ISLAM JAWA
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen
pengampu: Nur Khoiri, M.Ag
Disusun
oleh:
Farida
Istikomah (123711006)
Ziadatul
Aisy (123711035)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr,
wb.
Segala puji bagi
Allah AWT yang telah memberikan kenikmatan kepada kita semua khususnya kami
penulis. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda nabi agung
Muhammad SAW, seorang hamba sekaligus rasul-Nya yang dipilih-Nya dari
sebaik-baik umat manusia.
Penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Islam dan udaya Jawa,
Bapak Nur Khoiri, M.Ag, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyusun makalah yang berjudul “ Sinkretisme Sebagai Ciri Khas Islam Jawa”.
Pada makalah ini, pembahasan yang akan
diuraikan adalah mengenai apa itu sinkretisme, bagaimana latar belakang
lahirnya sinkretisme Islam Jawa, bagaimana profil sinkretisme sebagai bentuk
Islam Jawa, bagaimana pusat penyebaran sinkretisme Islam Jawa dan bagaimana reaksi
masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi.
Demikian makalah ini
kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan juga masih jauh dari kata
sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan dari penulis. Oleh
karena itu, kami mohon maaf serta segala bentuk kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan makalah kami dimasa mendatang sangat kami nantikan. Semoga
Allah SWT senantiasa meridloi dan memberikan kemudahan kepada kita dalam setiap
langkah.
Wassalamu’alaikum wr,
wb.
Semarang,
24 Desember 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar..................................................................................................
2
Daftar Isi............................................................................................................
3
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................
4
A. Latar
Belakang.............................................................................
4
B. Rumusan
Masalah........................................................................
4
C. Tujuan
Makalah...........................................................................
5
D. Manfaat Makalah.........................................................................
5
E. Sistematika
Penulisan.................................................................. 5
BAB II. LANDASAN TEORI..........................................................................
7
BAB III.
PEMBAHASAN................................................................................
20
BAB IV. KESIMPULAN.................................................................................
24
BAB V. PENUTUP..........................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menelisik sejarah Jawa
yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat
penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan
bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban
lain.
Salah satu dari sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan
bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka
sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka.
Dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar
seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan protestan ke Jawa. Namun dengan
pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata
masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara
mereka yang benar-benar serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada
juga yang berusaha serius tetapi ada hambatan-hambatan khusus, seperti ewuhdengan
lingkungan yang tidak mendukung, takut dikatakan sok semuci dan
sebagainya, membuat mereka kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya
secara utuh.
Dengan ini berakibat
kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam
mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi
asli pra Hindu Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Dengan demikian, secara sadar
atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan
ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu dan kepercayaan asli).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari
sikretisme?
2.
Bagaimana latar belakang
lahirnya sinkretisme Islam Jawa?
3.
Bagaimana profil
sinkretisme sebagai bentuk Islam Jawa?
4.
Bagaimana pusat
persebaran sinkretisme Islam Jawa?
5.
Bagaimana reaksi
masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui apa itu sinkretisme
2. Mengetahui latar belakang lahirnya sinkretisme Islam
Jawa
3. Mengetahui bagaimana praktik sinkretik yang terjadi
dalam masyarakat Jawa
4. Mengetahui pusat persebaran sinkretisme Islam di
pulau Jawa
5. Mengetahui berbagai pendapat masyarakat Jawa
terhadap usaha sinkretisasi
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Mahasiswa memahami
apa itu sinkretisme
2.
Mahasiswa memahami
bagaimana latar belakang lahirnya sinkretisme Islam Jawa
3.
Mahasiswa memahami
bagaimana praktik sinkretik yang terjadi dalam masyarakat Jawa
4.
Mahasiswa memahami
tempat yang menjadi pusat persebaran sinkretisme Islam di pulau Jawa
5.
Mahasiswa memahami
berbagai pendapat masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah
dalam pembahasan makalah ini, penulis membuat dalam empat bab.
Bab I : berisi
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II :
berisi landasan teori yang mencakup
tentang teori-teori yang
relevan yang
digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan dibahas.
Bab III : bagian utama dalam makalah ini berisi
pembahasan lebih
mendalam tentang sinkretisme.
Bab IV :
bagian ini berisi kesimpulan.
Bab V :
bagian penutup.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sinkretisme
Secara etimologis,
sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti
mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya
adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan
sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambahkan
bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak
mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak
mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini
semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha
memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda
antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan
bahkan agama.[1]
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar
berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan
menjauhi larangannya. Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui
bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang
berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh
tradisi dan kepercayaan lokal.
Dalam menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat
membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri.
Yang pertama, kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis
yang menyatukan unsure-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua
lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan
(orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa).
Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam
keanekaragamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme,
dinamisme dan Hindu Budha.[2]
B. Latar Belakang Lahirnya Sinkretisme Islam Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya
jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat
penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah
sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam
tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan
Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol)
oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda
kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat
itu terjadi stagnasi.[3]
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang
elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur lokal, mengingat kekuatan
Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir
abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka
metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan
toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup
masyarakat Jawa sangattepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa
lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa
yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia
Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian
senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam
segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme dan sektarianisme.[4]
Pandangan hidup
masyarakat Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima ajaran Islam yang
kategorinya paham asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak bersifat
konfrontatif, sebaliknya bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang
melatarbelakangi sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah
dan seakan tanpa sekat.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai
corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme
maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi system
kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan
konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang
diyakini sebagai pencipta alam.
Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan
maupun agama telah membangun nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan
manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya, merupakan esensi dan substansi
ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi local di tanah Jawa. Hal ini secara
langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang
bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa terhadap
substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran
tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip
keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.
Spiritualitas dan religiusitas yang menjadi pijakan
keberagamaan orang Jawa yang terkandung dari keempat unsur tersebut jika kita
benturkan dalam “kesalihan” Jawa tidak lain adalah untuk mencapai satu titik
tertinggi, yaitu kasunyatan atau kesejatian hidup. Tak berbeda
dengan Islam, sebagai ajaran agama nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya pun
memuat prinsip-prinsip kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya berkaitan dengan
keberadaan sang pencipta atau Tuhan. Dalam semua tradisi tersebut, termasuk
Islam, Tuhan merupakan wujud kekuatan adikodrati yang mengendalikan segala sesuatu
yang manusia harus tunduk kepada-Nya dalam bentuk pengabdian.
Dengan menggunakan kerangka berpikir sedemikian, Islam
menjadi mudah diterima dan menyatu di dalam masyarakat merupakan sebuah
keniscayaan yang tak terhindarkan. Pandangan Jawa yang meyakini agama
ageming aji, adalah falsafah yang mengajarkan bahwa agama merupakan sebuah
ajaran agar kehidupan yang dijalani mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman
sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
ketuhanan.
Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam
di tanah Jawa terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai dengan
masyarakat. Tetapi di samping itu, tidak terlepas pula peran besar Walisongo
yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan agama
Jawa.[5]
Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam
lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke ranah
perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai
kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang
dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik.[6] Dan
secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada
ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu
untuk menyebarkan Islam.
Dengan membangun kekuatan politik, Islam secara
otomatis menjangkau lapisan masyarakat kelas bangsawan atau priyayi. Hal ini
merupakan modal besar bagi Islam untuk dapat berakulturasi dengan budaya
setempat dan mempunyai pengaruh yang lebih besar, mengingat kerajaan merupakan
pusat perkembangan budaya sekaligus sebagai pusat dinamika masyarakat saat itu.
C. Profil Sinkreisme Sebagai Bentuk Islam Jawa
Sebelum Islam tumbuh dan berkembang di Jawa, tradisi
yang berlangsung adalah dan ajaran Hindu-Budha maupun kepercayaan dinamisme dan
animisme.Kemudian muatan-muatan simbolis maupun nilai-nilai Jawa serta
agama dipadukan pada saat penyebaran Islam.
Berbicara mengenai budaya Jawa, maka yang kita rujuk
adalah tradisi Hindu-Budha yang saat itu menjadi entitas budaya yang sangat
besar di tanah Jawa. Di samping tradisi tersebut, kepercayaan animisme dan
dinamisme sebagai ikatan religi menjadi hal yang sangat penting untuk ditelisik
karena hal ini berkaitan dengan mistisime budaya maupun mistisime agama di
pulau Jawa.
Proses sinkretisasi antara Islam dengan Jawa yang
berlangsung lembut, menyatu, dan bersifat total, pada akhirnya menjadikan
Islam-Jawa seakan-akan tidak bisa dipisahkan sampai satu sama lain. Bahkan,
jika kita meneropong Jawa saat ini yang terlihat adalah ciri Islam yang begitu
besar mempengaruhinya. Begitu juga sebaliknya, jika kita meneropong Islam di
Jawa, maka tradisi-tradisi Jawa pun sangat kental bercampur dengannya.
Adapun sinkretisme Islam-Jawa ini terpadu dalam
penggabungan antara dua agama/aliran atau selebihnya. Menggabungkan dua
agama/aliran atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang
biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan-kepercayaan lokal dengan
ajaran-ajaran agama Islam dan aagama-agama lainnya. Dari masing-masing
agama tersebut diambil yang sesuai dengan alur pemikiran masyarakat setempat.[7] Penggabungan
dari nilai-nilai ajaran yang berlainan ini pada akhirnya berujung pada
sinkretisme kepercayaan.
Pada aspek kepercayaan, fondasi Islam telahmenyatu
dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif.
Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ al
husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti
Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir),
Ingkang Maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci,dan lain-lain.
Nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama
lain sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung(Allahu
Akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah rabb al-alamin), atau Sang
Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata Hyang berarti
Tuhan atau lebih tepatnya dewa, sehingga ka-Hyang-an diartikan
sebagai tempat para dewa. Dalam hal ini Allah terhayati sebagai pribadi yang
menjadikan, memelihara, memberikan petunjuk, dan memberi rizki kepada
semua makhluk ciptaan-Nya.
Ritual menjadi simbol Jawa yang tak dapat menghindar
pula dari sinkretisasi dengan Islam. Ritual hal ini mengacu kepada
tradisi-tradisi dalam budaya Jawa yang berusaha selalu menggapai keamanan dan
ketentraman serta menghindari bencana dan kekacauan. Oleh karena itu, ritual
merupakan kesalihan masyarakat yang senantiasa menjunjung tinggi dan percaya
kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar (yang dipercaya sebagai pengendali).
Misalnya, dalam konteks masyarakat tradisonal di Jawa,
pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan diyakini sebagai saat-saat
genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu, mereka mengadakan
crisis rites dan rites de passage, yakni upacara peralihan yang berupa
slametan, kenduri atau makan bersama, prosesi dengan benda-benda keramat, dan
sebagainya.[8] Berbagai
ritual dalam tradisi kejawen biasanya juga diiringi dengan serangkaian upacara
dalam berbagai bentuk.
Di samping dua aspek (agama dan ritual) tadi,
sinkretisme Islam-Jawa sangat kentara dengan penggabungan antara agama dengan
budaya lokal. Yang dimaksud dalam konteks penggabungan agama dengan budaya
lokal adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa.[9] Dengan
demikian, substansi syariat yang dijalankan tetap sesuai dengan koridor ajaran
Islam, tetapi tampilan luarnya mengadopsi tradisi-tradisi lokal.
Sebagai contoh,
berbakti kepada orang tua dan bersaling memaafkan adalah sebuah kewajiban dalam
Islam. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan
media sungkem. Sungkem yang biasanya bertepatan dengan Hari Raya
Idul Fitri tidak bisa terlewati tanpa hidangan kupat dan lontong.
Dua hidangan tersebut merupakan simbol pengakuan manusia akan dosa dan saling
memaafkan. Secara kerata basa, kupat dapat
diartikan ngaku lepat, sedangakan lontong diartikan
sebagai olonone kothong.
D. Pusat Persebaran Sinkretisme Islam Jawa
Diakui atau tidak, sinkretisme benar adanya berkembang
seiring ketika Islam “bertarung” dengan budaya Jawa. Benturan halus terjadi dan
memang harus terjadi sehingga Islam mudah diterima. Asimilasi ajaran Islam
dengan budaya lokal pada mulanya dimulai dari pedesaan dan daerah (yang tidak
banyak membutuhkan peran perpolitikan yang besar). Baru setelah besar di
pedesaan (sekitar Pantura) para ulama menjadi raja-raja kecil yang kemudian
mendirikan kesultanan pertama Demak. Dari situ perpolitikan berperan besar
dalam persebaran Islam.
Berbicara mengenai persebaran sinkretisme Islam-Jawa
kita harus hati-hati dalam membingkai sociogeografis masyarakat Jawa saat itu.
Karena secara umum sinkretisme antara Islam dan budaya lokal telah memasuki
berbagai lini kehidupan di berbagai daerah. Namun, berdasarkan kondisi
social-geografis, kita dapat lebih jeli intensitas persebaran pencampuran
ajaran Islam dan Jawa.
Dalam hal ini, tidak salah jika kita menggunakan
kerangka analisis Clifford Geertz yang mengklasifikasikan masyarakat Islam-Jawa
ke dalam tiga varian, yaitu; abangan, santri, dan priyayi.[10] Pembacaan
ini, oleh Geertz disandarkan pada asumsi bahwa pandangan dunia Jawa adalah agama
Jawa yang dihadapkan pada system stratifikasi social di Jawa.
Pertama, abangan adalah golongan yang mengamalkan
ajaran Islam yang kemudian dipadukan dengan tradisi dan kepercayaan local.
Secara geografis, abangan adalah sebutan untuk rakyat desa, para petani,
yang hidup dalam wilayah pedalaman. Abangan inilah, yang oleh Geertz disebut
sebagai Islam sinkretisme. Karena kaitannya dengan pengamalan agama, masyarakat
pedalaman menghayati agama secara sinkretistik dimana Islam telah bercampur
baur dengan unsur animisme dan Hinduisme.[11]
Tipologi masyarakat pedalaman adalah masyarakat yang
bercorak mistik dalam memandang kehidupan dunia. Oleh karena itu, di pedalaman
nuansa kepercayaan takhayaul dan klenik yang
sangat kental. Ini berbeda dengan tipologi masyarakat pesisir yang lebih
bercorak sedikit rasional karena intensitas informasi yang masuk kepada mereka
lebih banyak.
Kedua, santri adalah
golongan yang berusaha mengamalkan Islam sesuai dengan ajaran yang pertama
datang kepada mereka. Geertz menyebut pula golongan ini adalah Islam yang
berada dalang lingkaran fundamentalisme ajaran Islam.
Secara geografis, golongan santri biasanya berada
dalam wilayah di sekitar pesisir pulau Jawa. Karena pesisir yang berdekatan
dengan laut menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur
Tengah. Golongan santri dinilai lebih pure (murni) dalam
menjalankan syariat Islam.
Corak santri diwarnai
pula dengan tradisi pemahaman agama Islam yang cukup mendalam. Itu
sebabnya, banyak muncul pesantren (tempat belajar mendalami agama Islam) di
sepanjang pantura pulau Jawa. Walaupun memang Walisongo saat itu berkonsentrasi
lebih di lingkungan pesisir Jawa.
Santri yang kategorinya
adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur dalam
hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermatapencaharian
sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar yang cukup intens.
Mengingat pedagang saat itu lebih berkosentrasi pada dunia pelayaran.
Ketiga, priyayi adalah golongan bangsawan (aristokrat)
yang dekat dengan kekuasaan, yang penghayatan agamanya banyak dipengaruhi oleh
Hinduisme. Berbicara mengenai golongan priyayi, wilayah keraton atau kerajaan
menjadi latar utama persebaran golongan ini. Pada umumnya golongan priyayi
hidup dalam lingkaran tradisi kejawen yang sangat kuat mengingat istana
merupakan pusat kekuatan budaya saat itu.
Dalam mengamalkan Islam, golongan priyayi cenderung
pada penggabungan ajaran agama dengan tradisi kejawen. Adapun tradisi kejawen
yang subur di lingkungan kerajaan saat itu adalah Hinduisme yang sangat kuat
mengakar. Dengan demikian golongan priyayi dalam kesehariannya mengamalkan
Islam secara sinkretik.
Berkaitan dengan klasifikasi abangan, santri, dan
priyayi dalam rangka membaca persebaran sinkretisme Islam-Jawa, ada baiknya
kita juga melihat dinamika politik Islam di Jawa. Adapun jika kita berbicara
mengenai politik Islam di Jawa, merupakan keharusan untuk meneropong sejarah
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Setelah Islam berkembang di wilayah pesisir dan dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat, kekuatan politik Islam mulai dibangun. Berdirinya
Kerajaan Demak pada abad XVI yang dirintis oleh Walsiongo, merupakan bukti
nyata bahwa penyebaran Islam mulai menggunakan legitimasi kekuasaan dan
kekuatan politik.
Menguatnya agama Islam di Jawa terjadi pada saat Islam
menyebar sampai wilayah pedalaman. Basis kekuatan politik yang dibangun dengan
kerajaan mendukung syiar Islam untuk sampai ke masyarakat pedesaan yang
dikategorikan dalam wilayah pedalaman.
Pada abad XV Majapahit makin pudar kekuasaannya,
tetapi Islam yang sudah menapak di pantai utara Jawa makin memperkuat
kedudukannya. Dari pantai utara (Demak) Islam menerobos makin jauh ke pedalaman
dan serentak dengan itu kerajaan Majapahit yang Hindu berakhir riwayatnya. Para
pahlawan penyebar Islam di Jawa biasanya disebutkan Walisongo (sembilan wali)
yang sering melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan Islam.[12]
Dengan makin berkembangnya agama Islam ke pedalaman
Jawa, agama Islam yang semula dikembangkan oleh kaum pedagang di pantai utara
mau tidak mau memasuki ruang lingkup pedalaman yang agraris tempat unsur
keramat (karamah) den berkat (barakah) sangatlah penting untuk melanggengkan
kehidupan. Mungkin saja mula-mula ditolak tetapi kemudian diterima dengan tangan
terbuka setelah melakukan penyesuaian seperti yang dilakukan oleh Walisongo
leluhur pesantren. Legenda yang menyelimuti mereka menandakan penerimaan
masyarakat dalam kontinuitas dengan kebudayaan sebelum beserta segala aspirasi
religiusnya.
Sinkretisme Islam-Jawa semakin mengendap tatkala
kerajaan Demak di pindah ke Pajang dan kemudian di Mataram, di mana keduanya
secara geografis terletak di pedalaman. Pada saat kraton berada di Demak, yang
berada di bibir pantai, hubungan dengan dunia luar relatif mudah dilakukan.
Oleh karena itu, ekonomi masyarakat digerakkan lewat perdagangan antar pulau,
yang dengannya para mubaligh dari luar Jawa dapat mengajar dan menyiarkan agama
Islam kepada masyarakat Jawa, dan sebaliknya, masyarakat Jawa yang pengetahuan dan
pemahamannya tentang Islam belum mapan dapat belajar ke tempat-tempat lain
yang Islam-nya relatif lebih maju.
Tetapi, setelah kraton pindah ke pedalaman, ekonomi
masyarakat lebih bertumpu pada pertanian, yang tidak memerlukan mobilitas
penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya, akibatnya Islamisasi yang sudah
berjalan secara evolutif, terhenti dan menyebabkan budaya serta kepercayaaan
lama menjadi marak kembali.[13] Dalam
pada itu kekuatan politik Islam juga melemah sehingga perlu dilakukan syiar
yang lebih menjunjung tinggi adat-istiadat setempat yang kembali menguat.
Islam yang awalnya tersebar di daerah pesisir
yang kategorinya tidak condong pada sinkretisme bahkan cenderung sedikit purify,
saat masuk ke kerajaan daerah pedalaman beralih ke dalam mistisisme yang
berlatar animisme dan dinamisme yang padu pula dengan budaya kejawen
(Hindu-Budha). Dalam kurun waktu inilah Islam dipahami, dihayati, dan diamalkan
dalam bentuk sinkretisasi dengan budaya Jawa.
Sisa-sisa kekuatan politik Islam waktu itu terbangun
dalam Kerajaan Mataram Islam. Karena pendiri Mataram, Senopati, adalah
keturunan Majapahit, dia mengkawinkan unsur Hindu denganIslam, Kejawen.
Sinkretisme Islam-Jawa semakin subur setelah berdirinya Mataram Islam yang
tetap menjaga tradisi-tradisi kejawen dalam ritual Islam.
Berdasarkan klasifikasi demikian, dapat diambil
gambaran bahwa penganut Islam di wilayah sekitar pesisir yang tergolong dalam
kaum santri, yakni masyarakat di sekitar pantai utara (pantura)
Jawa, mengamalkan Islam dengan tidak menonjolkan nuansa sinkretisme.
Sebaliknya, masyarakat pedalaman yang kental dengan corak msitisime Jawa
beserta klenik di dalamnya dikategorikan sebagai Islam abangan yang
mengamalkan Islam secara sinkretik. Begitu pula di lingkungan kerajaan, yang
lebih cocok dalam klasifikasipriyayi, mengamalkan Islam dengan
menggabungkannya terhadap tradisi kejawen yang bercorak hindu-budha.
Oleh karena itu dapat kita ambil gambaran sederhana
bahwa pusat persebaran sinkretisme Islam-Jawa terletak pada sekitar masyarakat
pedalaman dan masyarakat lingkungan kerajaan. Namun demikian pandangan yang
dikemukakan di atas merupakan gambaran sinkretisme agama dan budaya di Jawa
secara umum, dan pembacaan tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Bahwa Islam pesisiran yang sering diidentifikasi lebih
murni dari pada Islam pedalaman adalah tidak sepenuhnya benar. Mengingat di
Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai
realitas sosial yang cukup unik dan rumit. Sehingga ketika berbicara tentang
Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang pada kenyataannya
menunjukkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat
adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk
menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman
maupun Islam keraton/kerajaan, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang
menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan
terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
E. Reaksi Masyarakat Jawa Terhadap Usaha Sinkretisasi
Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa
pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa
terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam
mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan
as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi
gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang
lainnya. Kelompok pertama, yang berusaha untuk mengamalkan
ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi
dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan
syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur
peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk
agama Islam.
Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang
tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan
haram dikerjakan. Kelompok kedua, kelompok moderat. Orang-orang
yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai
atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena
itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung sum-sum dengan
tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang
justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Kelompok ketiga, mereka
yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.[14]
BAB III
PEMBAHASAN
Sistem budaya yang
menggambarkan antara budaya islam dan budaya lokal, budaya Islam sinkretis
merupakan gambaran suatu genre suatu keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya
yang murni. Kelompok ini amat permissive terhadap unsur budaya lokal, oleh
karna kebudayaan itu dinamis maka budaya sinkretis juga dinamis. Sebagai
contoh, budaya sinkretis yang di wujudkan antara lain dalam bentuk
tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan,
golek dina, sesaji,ngalap berkah, cari dukun, dan seterusnya, dari
dulu hingga sekarang tidak sama. Orang sekarang mengetahui tradisi slametan,
yasinan, tahlilan,danziaraha dalah apa yang terlihat sekarang, mereka tidak mengetahui bahwa tradisi
tersebut sebenarnya telah turun-temurun serta mengalami beberapa tahap
perubahan.
Islam sinkretis sebagai
kebudayaan lokal tampaknya lebih merupakan “objek” yang kertekan oleh system
budaya puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian, secara substansif Islam
sinkretis juga mengimbangi dengan suatu resistensi terutama yang menyangkut
system kepercayaan dan istitusi-institusi social dalam bentuk kultur Jawa.
Untuk lebih mengkongkritkan
pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan
beberapa contoh:
a. Penggabungan antara dua agama atau aliran atau lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk
membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara
kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
b. Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional,
pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang
perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis
rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang
berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat
dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa
sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk
slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian,
membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap
roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap
dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka
terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
1. Upacara Midodareni
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada
malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha
keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya
melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya
perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam
beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan
tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini
digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dankeplek sampai
pagi.
2. Upacara brokohan dan sepasaran
Dalam Islam, ketika
seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan
menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor
kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan
masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka
mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan
selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa,
agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.
c. Dalam doa dan mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal
sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti
nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama
nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan
masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh
yang berasal dari dunia Islam.
Berikut ini adalah dua contoh
mantera dan doa.
1. Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim
“jabarail sumurup
maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik
macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha
illa’llah Muhammad Rosulu’llah”.
Doa ini dibaca setelah mandi
14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).
2. Mantera atau doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim.
“Cur mncur cahyaning
Allah,sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot
lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring
allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning
nyawa,badan allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .
d. Menggabungkan agama dengan budaya local
Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan
syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah
wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan
media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan
hidangan kupat dan lontong. Secarakeratabasa, ‘kupat’ dapat
diartikan ngaku lepat.Sedangkan lontong dapat diartikan olone
kothong.[15]
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita
tarik pemahaman bahwa proses penyebaran Islam di tanah Jawa menggunakan
pendekatan kultural, yakni adaptif dan akomodatif dengan budaya dan tradisi
setempat. Sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa meskipun akhirnya
mengalami proses akulturasi dengan nilai-nilai setempat.
Setelah Islam dan Jawa bersenyawa
menjadi satu dalam sebuah ikatan religius dan spiritual, keduanya sangat padu.
Bahkan seakan-akan tidak bisa dibedakan sebenarnya yang mana budaya Jawa dan
yang mana Islam. Kemudian pencampuran keduanya, atau yang tadi disebut
sinkretisme menjadi bentuk dan ciri khas Islam di Jawa.
Selanjutnya, pusat persebaran sinkretisme
yang terurai melalui pendekatan trikotomi Clifford Geertz; abangan, santri, dan
priyayi mengantarkan kita pada realitas pemahaman masyarakat Jawa yang telah
mengalami sinkretisasi dengan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal setempat.
Bahwa Islam sinkretik lebih kental di wilayah pedalaman atau yang
tergolong abangan yang diselimuti dengan kepercayaan mistik
dan klenik. Begitu juga kaum bangsawan yang hidup dalam tradisi
kerajaan (priyayi), corak pengamalan Islam mereka kentara sekali dengan
sinkretisme dengan menggabungkan ajaran Islam dengan kejawen. Kendati demikian,
bukan sepenuhnya masyarakat pesisir melaksanakan ajaran Islam dengan tidak
mencampuradukkannya terhadap pemahaman budaya setempat.
Dalam
meneropong sinkretisme Islam-Jawa sebenarnya ada dua istilah sensitif yang
sering muncul ke permukaan dan tak jarang dipertentangkan. Yaitu, “Islamisasi
Jawa” dan “Jawanisasi Islam”. Secara umum pandangan dua terminologi tersebut
sangat rumit untuk dibedakan karena realitas keIslaman di Jawa yang sangat rumit
untuk ditelisik.
BAB V
PENUTUP
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat,
kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu,
kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah
kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami
buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Darori, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama
Media, 2000.
Saridjo,
Marwan, et.all, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia,
Jakarta: Dharma shakti, 1979.
Simuh, Islam
dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta: Teraju, 2003.
Sofwan,
Ridin, et.all, Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar Islam di
Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sujamto, Refleksi
Budaya Jawa, dalam Pemerintahan dan Pembangunan, Semarang: Dahara Prize,
1992.
[3]Lihat Muhammad Tohir dalam Sejarah Islam dari
Andalus Sampai Indus.
[4]Sujamto, Refleksi Budaya Jawa, dalam
Pemerintahan dan Pembangunan, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm. 71-72.
[5]Walisongo memegang peran sentral dalam penyebaran
Islam di Jawa. Metode yang mereka gunakan pada umumnya dengan melakukan
pendekatan cultural. Baca, Ridin Sofwan, et.all, Islamisasi di
Jawa: Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[6]Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa,
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 65-67.
[7]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 97.
[8]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 104.
[9]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 107.
[10]Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan dari C. Geertz 1969),
(Jakarta: Pustaka Jaya: 1981), hlm. 318.
[11]Uraian tentang abangan, santri dan priyayi berdasarkan
analisis C. Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa (Terjemahandari The Religion of Java) (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981), hlm. 1-9.
[12]Marwan Saridjo, et.all., Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma shakti, 1979), hlm. 18-21.
[13]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 96.
[14]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 108.
[15] Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 97-107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar