Jumat, 11 Maret 2016

SINKRETISME SEBAGAI CIRI KHAS ISLAM JAWA

SINKRETISME SEBAGAI CIRI KHAS ISLAM JAWA
MAKALAH



Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen pengampu: Nur Khoiri, M.Ag



Disusun oleh:

Farida Istikomah         (123711006)
Ziadatul Aisy              (123711035)





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr, wb.
Segala puji bagi Allah AWT yang telah memberikan kenikmatan kepada kita semua khususnya kami penulis. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda nabi agung Muhammad SAW, seorang hamba sekaligus rasul-Nya yang dipilih-Nya dari sebaik-baik umat manusia.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Islam dan udaya Jawa, Bapak Nur Khoiri, M.Ag, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah yang berjudul “ Sinkretisme Sebagai Ciri Khas Islam Jawa”. Pada  makalah ini, pembahasan yang akan diuraikan adalah mengenai apa itu sinkretisme, bagaimana latar belakang lahirnya sinkretisme Islam Jawa, bagaimana profil sinkretisme sebagai bentuk Islam Jawa, bagaimana pusat penyebaran sinkretisme Islam Jawa dan bagaimana reaksi masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi.
Demikian makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan juga masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan dari penulis. Oleh karena itu, kami mohon maaf serta segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah kami dimasa mendatang sangat kami nantikan. Semoga Allah SWT senantiasa meridloi dan memberikan kemudahan kepada kita dalam setiap langkah.
Wassalamu’alaikum wr, wb.




                                                                        Semarang, 24 Desember 2015


Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................. 2
Daftar Isi............................................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 4
A.      Latar Belakang............................................................................. 4
B.       Rumusan Masalah........................................................................ 4
C.       Tujuan Makalah........................................................................... 5
D.      Manfaat Makalah......................................................................... 5
E.       Sistematika Penulisan.................................................................. 5
BAB II. LANDASAN TEORI.......................................................................... 7
BAB III. PEMBAHASAN................................................................................ 20
BAB IV. KESIMPULAN................................................................................. 24
BAB V. PENUTUP.......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain.
Salah satu dari sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan protestan ke Jawa. Namun dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara mereka yang benar-benar serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha serius tetapi ada hambatan-hambatan khusus, seperti ewuhdengan lingkungan yang tidak mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya, membuat mereka kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.
Dengan ini berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Dengan demikian, secara sadar atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu dan kepercayaan asli).

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian dari sikretisme?
2.         Bagaimana latar belakang lahirnya sinkretisme Islam Jawa?
3.         Bagaimana profil sinkretisme sebagai bentuk Islam Jawa?
4.         Bagaimana pusat persebaran sinkretisme Islam Jawa?
5.         Bagaimana reaksi masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi?

C.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Mengetahui apa itu sinkretisme
2.      Mengetahui latar belakang lahirnya sinkretisme Islam Jawa
3.      Mengetahui bagaimana praktik sinkretik yang terjadi dalam masyarakat Jawa
4.      Mengetahui pusat persebaran sinkretisme Islam di pulau Jawa
5.      Mengetahui berbagai pendapat masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi

D.      Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini, yaitu:
1.         Mahasiswa memahami apa itu sinkretisme
2.         Mahasiswa memahami bagaimana latar belakang lahirnya sinkretisme Islam Jawa
3.         Mahasiswa memahami bagaimana praktik sinkretik yang terjadi dalam masyarakat Jawa
4.         Mahasiswa memahami tempat yang menjadi pusat persebaran sinkretisme Islam di pulau Jawa
5.         Mahasiswa memahami berbagai pendapat masyarakat Jawa terhadap usaha sinkretisasi

E.       Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pembahasan makalah ini, penulis membuat dalam empat bab.
Bab I        : berisi  pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika  penulisan.
Bab II        : berisi landasan  teori yang mencakup tentang teori-teori yang
relevan yang digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang  akan dibahas.
     Bab III       : bagian utama dalam makalah ini berisi pembahasan lebih 
                          mendalam tentang sinkretisme.
      Bab IV      : bagian ini berisi kesimpulan.
      Bab V        : bagian penutup.






















BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Pengertian Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan bahkan agama.[1]
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal.
Dalam menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri. Yang pertama, kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsure-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan (orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keanekaragamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme dan Hindu Budha.[2]
B.       Latar Belakang Lahirnya Sinkretisme Islam Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi.[3]
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur lokal, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangattepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme dan sektarianisme.[4]
Pandangan hidup masyarakat Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima ajaran Islam yang kategorinya paham asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak bersifat konfrontatif, sebaliknya bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang melatarbelakangi sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah dan seakan tanpa sekat.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi system kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya, merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi local di tanah Jawa. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.
Spiritualitas dan religiusitas yang menjadi pijakan keberagamaan orang Jawa yang terkandung dari keempat unsur tersebut jika kita benturkan dalam “kesalihan” Jawa tidak lain adalah untuk mencapai satu titik tertinggi, yaitu kasunyatan atau kesejatian hidup. Tak berbeda dengan Islam, sebagai ajaran agama nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya pun memuat prinsip-prinsip kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya berkaitan dengan keberadaan sang pencipta atau Tuhan. Dalam semua tradisi tersebut, termasuk Islam, Tuhan merupakan wujud kekuatan adikodrati yang mengendalikan segala sesuatu yang manusia harus tunduk kepada-Nya dalam bentuk pengabdian.
Dengan menggunakan kerangka berpikir sedemikian, Islam menjadi mudah diterima dan menyatu di dalam masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Pandangan Jawa yang meyakini agama ageming aji, adalah falsafah yang mengajarkan bahwa agama merupakan sebuah ajaran agar kehidupan yang dijalani mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan.
Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam di tanah Jawa terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai dengan masyarakat. Tetapi di samping itu, tidak terlepas pula peran besar Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan agama Jawa.[5]
Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik.[6] Dan secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu untuk menyebarkan Islam.
Dengan membangun kekuatan politik, Islam secara otomatis menjangkau lapisan masyarakat kelas bangsawan atau priyayi. Hal ini merupakan modal besar bagi Islam untuk dapat berakulturasi dengan budaya setempat dan mempunyai pengaruh yang lebih besar, mengingat kerajaan merupakan pusat perkembangan budaya sekaligus sebagai pusat dinamika masyarakat saat itu.
C.       Profil Sinkreisme Sebagai Bentuk Islam Jawa
Sebelum Islam tumbuh dan berkembang di Jawa, tradisi yang berlangsung adalah dan ajaran Hindu-Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme.Kemudian muatan-muatan simbolis maupun nilai-nilai Jawa serta agama dipadukan pada saat penyebaran Islam.
Berbicara mengenai budaya Jawa, maka yang kita rujuk adalah tradisi Hindu-Budha yang saat itu menjadi entitas budaya yang sangat besar di tanah Jawa. Di samping tradisi tersebut, kepercayaan animisme dan dinamisme sebagai ikatan religi menjadi hal yang sangat penting untuk ditelisik karena hal ini berkaitan dengan mistisime budaya maupun mistisime agama di pulau Jawa.
Proses sinkretisasi antara Islam dengan Jawa yang berlangsung lembut, menyatu, dan bersifat total, pada akhirnya menjadikan Islam-Jawa seakan-akan tidak bisa dipisahkan sampai satu sama lain. Bahkan, jika kita meneropong Jawa saat ini yang terlihat adalah ciri Islam yang begitu besar mempengaruhinya. Begitu juga sebaliknya, jika kita meneropong Islam di Jawa, maka tradisi-tradisi Jawa pun sangat kental bercampur dengannya.
Adapun sinkretisme Islam-Jawa ini terpadu dalam penggabungan antara dua agama/aliran atau selebihnya. Menggabungkan dua agama/aliran atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan-kepercayaan lokal dengan ajaran-ajaran agama Islam dan aagama-agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai dengan alur pemikiran masyarakat setempat.[7] Penggabungan dari nilai-nilai ajaran yang berlainan ini pada akhirnya berujung pada sinkretisme kepercayaan.
Pada aspek kepercayaan, fondasi Islam telahmenyatu dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ al husna telah berubah menjadi Gusti AllahGusti Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir), Ingkang Maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci,dan lain-lain.
Nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung(Allahu Akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah rabb al-alamin), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata Hyang berarti Tuhan atau lebih tepatnya dewa, sehingga ka-Hyang-an diartikan sebagai tempat para dewa. Dalam hal ini Allah terhayati sebagai pribadi yang menjadikan, memelihara, memberikan petunjuk, dan memberi rizki kepada semua makhluk ciptaan-Nya.
Ritual menjadi simbol Jawa yang tak dapat menghindar pula dari sinkretisasi dengan Islam. Ritual hal ini mengacu kepada tradisi-tradisi dalam budaya Jawa yang berusaha selalu menggapai keamanan dan ketentraman serta menghindari bencana dan kekacauan. Oleh karena itu, ritual merupakan kesalihan masyarakat yang senantiasa menjunjung tinggi dan percaya kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar (yang dipercaya sebagai pengendali).
Misalnya, dalam konteks masyarakat tradisonal di Jawa, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan diyakini sebagai saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu, mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yakni upacara peralihan yang berupa slametan, kenduri atau makan bersama, prosesi dengan benda-benda keramat, dan sebagainya.[8] Berbagai ritual dalam tradisi kejawen biasanya juga diiringi dengan serangkaian upacara dalam berbagai bentuk.
Di samping dua aspek (agama dan ritual) tadi, sinkretisme Islam-Jawa sangat kentara dengan penggabungan antara agama dengan budaya lokal. Yang dimaksud dalam konteks penggabungan agama dengan budaya lokal adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa.[9] Dengan demikian, substansi syariat yang dijalankan tetap sesuai dengan koridor ajaran Islam, tetapi tampilan luarnya mengadopsi tradisi-tradisi lokal.
Sebagai contoh, berbakti kepada orang tua dan bersaling memaafkan adalah sebuah kewajiban dalam Islam. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Sungkem yang biasanya bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri tidak bisa terlewati tanpa hidangan kupat dan lontong. Dua hidangan tersebut merupakan simbol pengakuan manusia akan dosa dan saling memaafkan. Secara kerata basakupat dapat diartikan ngaku lepat, sedangakan lontong diartikan sebagai olonone kothong.
D.      Pusat Persebaran Sinkretisme Islam Jawa
Diakui atau tidak, sinkretisme benar adanya berkembang seiring ketika Islam “bertarung” dengan budaya Jawa. Benturan halus terjadi dan memang harus terjadi sehingga Islam mudah diterima. Asimilasi ajaran Islam dengan budaya lokal pada mulanya dimulai dari pedesaan dan daerah (yang tidak banyak membutuhkan peran perpolitikan yang besar). Baru setelah besar di pedesaan (sekitar Pantura) para ulama menjadi raja-raja kecil yang kemudian mendirikan kesultanan pertama Demak. Dari situ perpolitikan berperan besar dalam persebaran Islam.
Berbicara mengenai persebaran sinkretisme Islam-Jawa kita harus hati-hati dalam membingkai sociogeografis masyarakat Jawa saat itu. Karena secara umum sinkretisme antara Islam dan budaya lokal telah memasuki berbagai lini kehidupan di berbagai daerah. Namun, berdasarkan kondisi social-geografis, kita dapat lebih jeli intensitas persebaran pencampuran ajaran Islam dan Jawa.
Dalam hal ini, tidak salah jika kita menggunakan kerangka analisis Clifford Geertz yang mengklasifikasikan masyarakat Islam-Jawa ke dalam tiga varian, yaitu; abangansantri, dan priyayi.[10] Pembacaan ini, oleh Geertz disandarkan pada asumsi bahwa pandangan dunia Jawa adalah agama Jawa yang dihadapkan pada system stratifikasi social di Jawa.
Pertama, abangan adalah golongan yang mengamalkan ajaran Islam yang kemudian dipadukan dengan tradisi dan kepercayaan local. Secara geografis, abangan adalah sebutan untuk rakyat desa, para petani, yang hidup dalam wilayah pedalaman. Abangan inilah, yang oleh Geertz disebut sebagai Islam sinkretisme. Karena kaitannya dengan pengamalan agama, masyarakat pedalaman menghayati agama secara sinkretistik dimana Islam telah bercampur baur dengan unsur animisme dan Hinduisme.[11]
Tipologi masyarakat pedalaman adalah masyarakat yang bercorak mistik dalam memandang kehidupan dunia. Oleh karena itu, di pedalaman nuansa kepercayaan takhayaul dan klenik yang sangat kental. Ini berbeda dengan tipologi masyarakat pesisir yang lebih bercorak sedikit rasional karena intensitas informasi yang masuk kepada mereka lebih banyak.
Kedua, santri adalah golongan yang berusaha mengamalkan Islam sesuai dengan ajaran yang pertama datang kepada mereka. Geertz menyebut pula golongan ini adalah Islam yang berada dalang lingkaran fundamentalisme ajaran Islam.
Secara geografis, golongan santri biasanya berada dalam wilayah di sekitar pesisir pulau Jawa. Karena pesisir yang berdekatan dengan laut menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah. Golongan santri dinilai lebih pure (murni) dalam menjalankan syariat Islam.
Corak santri diwarnai pula dengan tradisi pemahaman agama Islam yang cukup mendalam. Itu sebabnya, banyak muncul pesantren (tempat belajar mendalami agama Islam) di sepanjang pantura pulau Jawa. Walaupun memang Walisongo saat itu berkonsentrasi lebih di lingkungan pesisir Jawa.
Santri yang kategorinya adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur dalam hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar yang cukup intens. Mengingat pedagang saat itu lebih berkosentrasi pada dunia pelayaran.
Ketiga, priyayi adalah golongan bangsawan (aristokrat) yang dekat dengan kekuasaan, yang penghayatan agamanya banyak dipengaruhi oleh Hinduisme. Berbicara mengenai golongan priyayi, wilayah keraton atau kerajaan menjadi latar utama persebaran golongan ini. Pada umumnya golongan priyayi hidup dalam lingkaran tradisi kejawen yang sangat kuat mengingat istana merupakan pusat kekuatan budaya saat itu.
Dalam mengamalkan Islam, golongan priyayi cenderung pada penggabungan ajaran agama dengan tradisi kejawen. Adapun tradisi kejawen yang subur di lingkungan kerajaan saat itu adalah Hinduisme yang sangat kuat mengakar. Dengan demikian golongan priyayi dalam kesehariannya mengamalkan Islam secara sinkretik.
Berkaitan dengan klasifikasi abangan, santri, dan priyayi dalam rangka membaca persebaran sinkretisme Islam-Jawa, ada baiknya kita juga melihat dinamika politik Islam di Jawa. Adapun jika kita berbicara mengenai politik Islam di Jawa, merupakan keharusan untuk meneropong sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Setelah Islam berkembang di wilayah pesisir dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, kekuatan politik Islam mulai dibangun. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI yang dirintis oleh Walsiongo, merupakan bukti nyata bahwa penyebaran Islam mulai menggunakan legitimasi kekuasaan dan kekuatan politik.
Menguatnya agama Islam di Jawa terjadi pada saat Islam menyebar sampai wilayah pedalaman. Basis kekuatan politik yang dibangun dengan kerajaan mendukung syiar Islam untuk sampai ke masyarakat pedesaan yang dikategorikan dalam wilayah pedalaman.
Pada abad XV Majapahit makin pudar kekuasaannya, tetapi Islam yang sudah menapak di pantai utara Jawa makin memperkuat kedudukannya. Dari pantai utara (Demak) Islam menerobos makin jauh ke pedalaman dan serentak dengan itu kerajaan Majapahit yang Hindu berakhir riwayatnya. Para pahlawan penyebar Islam di Jawa biasanya disebutkan Walisongo (sembilan wali) yang sering melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan Islam.[12]
Dengan makin berkembangnya agama Islam ke pedalaman Jawa, agama Islam yang semula dikembangkan oleh kaum pedagang di pantai utara mau tidak mau memasuki ruang lingkup pedalaman yang agraris tempat unsur keramat (karamah) den berkat (barakah) sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Mungkin saja mula-mula ditolak tetapi kemudian diterima dengan tangan terbuka setelah melakukan penyesuaian seperti yang dilakukan oleh Walisongo leluhur pesantren. Legenda yang menyelimuti mereka menandakan penerimaan masyarakat dalam kontinuitas dengan kebudayaan sebelum beserta segala aspirasi religiusnya.
Sinkretisme Islam-Jawa semakin mengendap tatkala kerajaan Demak di pindah ke Pajang dan kemudian di Mataram, di mana keduanya secara geografis terletak di pedalaman. Pada saat kraton berada di Demak, yang berada di bibir pantai, hubungan dengan dunia luar relatif mudah dilakukan. Oleh karena itu, ekonomi masyarakat digerakkan lewat perdagangan antar pulau, yang dengannya para mubaligh dari luar Jawa dapat mengajar dan menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa, dan sebaliknya, masyarakat Jawa yang pengetahuan dan pemahamannya tentang Islam belum mapan dapat belajar ke tempat-tempat lain yang Islam-nya relatif lebih maju.
Tetapi, setelah kraton pindah ke pedalaman, ekonomi masyarakat lebih bertumpu pada pertanian, yang tidak memerlukan mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya, akibatnya Islamisasi yang sudah berjalan secara evolutif, terhenti dan menyebabkan budaya serta kepercayaaan lama menjadi marak kembali.[13] Dalam pada itu kekuatan politik Islam juga melemah sehingga perlu dilakukan syiar yang lebih menjunjung tinggi adat-istiadat setempat yang kembali menguat.
Islam yang awalnya tersebar di daerah pesisir yang kategorinya tidak condong pada sinkretisme bahkan cenderung sedikit purify, saat masuk ke kerajaan daerah pedalaman beralih ke dalam mistisisme yang berlatar animisme dan dinamisme yang padu pula dengan budaya kejawen (Hindu-Budha). Dalam kurun waktu inilah Islam dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam bentuk sinkretisasi dengan budaya Jawa.
Sisa-sisa kekuatan politik Islam waktu itu terbangun dalam Kerajaan Mataram Islam. Karena pendiri Mataram, Senopati, adalah keturunan Majapahit, dia mengkawinkan unsur Hindu denganIslam, Kejawen. Sinkretisme Islam-Jawa semakin subur setelah berdirinya Mataram Islam yang tetap menjaga tradisi-tradisi kejawen dalam ritual Islam.
Berdasarkan klasifikasi demikian, dapat diambil gambaran bahwa penganut Islam di wilayah sekitar pesisir yang tergolong dalam kaum santri, yakni masyarakat di sekitar pantai utara (pantura) Jawa, mengamalkan Islam dengan tidak menonjolkan nuansa sinkretisme. Sebaliknya, masyarakat pedalaman yang kental dengan corak msitisime Jawa beserta klenik di dalamnya dikategorikan sebagai Islam abangan yang mengamalkan Islam secara sinkretik. Begitu pula di lingkungan kerajaan, yang lebih cocok dalam klasifikasipriyayi, mengamalkan Islam dengan menggabungkannya terhadap tradisi kejawen yang bercorak hindu-budha.
Oleh karena itu dapat kita ambil gambaran sederhana bahwa pusat persebaran sinkretisme Islam-Jawa terletak pada sekitar masyarakat pedalaman dan masyarakat lingkungan kerajaan. Namun demikian pandangan yang dikemukakan di atas merupakan gambaran sinkretisme agama dan budaya di Jawa secara umum, dan pembacaan tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Bahwa Islam pesisiran yang sering diidentifikasi lebih murni dari pada Islam pedalaman adalah tidak sepenuhnya benar. Mengingat di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang cukup unik dan rumit. Sehingga ketika berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang pada kenyataannya menunjukkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman maupun Islam keraton/kerajaan, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
E.       Reaksi Masyarakat Jawa Terhadap Usaha Sinkretisasi
Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Kelompok pertama, yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam.
Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan. Kelompok kedua, kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung sum-sum dengan tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Kelompok ketiga, mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.[14]
















BAB III
PEMBAHASAN

Sistem budaya yang menggambarkan antara budaya islam dan budaya lokal, budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre suatu keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permissive terhadap unsur budaya lokal, oleh karna kebudayaan itu dinamis maka budaya sinkretis juga dinamis. Sebagai contoh, budaya sinkretis yang di wujudkan antara lain dalam bentuk tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan, golek dina, sesaji,ngalap berkah, cari dukun, dan seterusnya, dari dulu hingga sekarang tidak sama. Orang sekarang mengetahui tradisi slametan, yasinan, tahlilan,danziaraha dalah apa yang terlihat sekarang, mereka tidak mengetahui bahwa tradisi tersebut sebenarnya telah turun-temurun serta mengalami beberapa tahap perubahan.
 Islam sinkretis sebagai kebudayaan lokal tampaknya lebih merupakan “objek” yang kertekan oleh system budaya puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian, secara substansif Islam sinkretis juga mengimbangi dengan suatu resistensi terutama yang menyangkut system kepercayaan dan istitusi-institusi social dalam bentuk kultur Jawa.
Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:
a.       Penggabungan antara dua agama atau aliran atau lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
b.      Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
1.      Upacara Midodareni
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dankeplek sampai pagi.
2.      Upacara brokohan dan sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.
c.       Dalam doa dan mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
Berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa.
1.    Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim
“jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad Rosulu’llah”.
Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).

2.    Mantera atau doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim.
“Cur mncur cahyaning Allah,sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .
d.      Menggabungkan agama dengan budaya local
Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secarakeratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat.Sedangkan lontong dapat diartikan olone kothong.[15]


















BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita tarik pemahaman bahwa proses penyebaran Islam di tanah Jawa menggunakan pendekatan kultural, yakni adaptif dan akomodatif dengan budaya dan tradisi setempat. Sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa meskipun akhirnya mengalami proses akulturasi dengan nilai-nilai setempat.
Setelah Islam dan Jawa bersenyawa menjadi satu dalam sebuah ikatan religius dan spiritual, keduanya sangat padu. Bahkan seakan-akan tidak bisa dibedakan sebenarnya yang mana budaya Jawa dan yang mana Islam. Kemudian pencampuran keduanya, atau yang tadi disebut sinkretisme menjadi bentuk dan ciri khas Islam di Jawa.
Selanjutnya, pusat persebaran sinkretisme yang terurai melalui pendekatan trikotomi Clifford Geertz; abangan, santri, dan priyayi mengantarkan kita pada realitas pemahaman masyarakat Jawa yang telah mengalami sinkretisasi dengan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal setempat. Bahwa Islam sinkretik lebih kental di wilayah pedalaman atau yang tergolong abangan yang diselimuti dengan kepercayaan mistik dan klenik. Begitu juga kaum bangsawan yang hidup dalam tradisi kerajaan (priyayi), corak pengamalan Islam mereka kentara sekali dengan sinkretisme dengan menggabungkan ajaran Islam dengan kejawen. Kendati demikian, bukan sepenuhnya masyarakat pesisir melaksanakan ajaran Islam dengan tidak mencampuradukkannya terhadap pemahaman budaya setempat.
Dalam meneropong sinkretisme Islam-Jawa sebenarnya ada dua istilah sensitif yang sering muncul ke permukaan dan tak jarang dipertentangkan. Yaitu, “Islamisasi Jawa” dan “Jawanisasi Islam”. Secara umum pandangan dua terminologi tersebut sangat rumit untuk dibedakan karena realitas keIslaman di Jawa yang sangat rumit untuk ditelisik.



BAB V
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Saridjo, Marwan, et.all, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma shakti, 1979.
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta: Teraju, 2003.
Sofwan, Ridin, et.all, Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa, dalam Pemerintahan dan Pembangunan, Semarang: Dahara Prize, 1992.



[1] Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 87.
[2] Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 91-92.
[3]Lihat Muhammad Tohir dalam Sejarah Islam dari Andalus Sampai Indus.

[4]Sujamto, Refleksi Budaya Jawa, dalam Pemerintahan dan Pembangunan, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm. 71-72.

[5]Walisongo memegang peran sentral dalam penyebaran Islam di Jawa. Metode yang mereka gunakan pada umumnya dengan melakukan pendekatan cultural. Baca, Ridin Sofwan, et.all, Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[6]Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 65-67.

[7]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 97.

[8]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 104.

[9]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 107.

[10]Clifford Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan  dari C. Geertz 1969), (Jakarta: Pustaka Jaya: 1981), hlm. 318.
[11]Uraian tentang abangansantri dan priyayi berdasarkan analisis C. Geertz dalam AbanganSantri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahandari The Religion of Java) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 1-9.

[12]Marwan Saridjo, et.all., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma shakti, 1979), hlm. 18-21.

[13]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 96.

[14]Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 108.

[15] Darori Amin, et.all, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 97-107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar